Mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat beragama tetapi masih banyak perzinaan, bahkan tingkat zina kian meningkat, mengapa bisa demikian? Apakah hukum agama sudah tidak relevan untuk sekarang?
Setelah sebelumnya AyatAlkitab.id telah menjelaskan bagaimana hukum zina menurut Alkitab serta Undang-Undang, kali ini penulis akan mengulas sedikit mengenai naiknya tingkat perzinaan di Indonesia.
Seperti yang kita tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia beragama Islam, di posisi kedua ada Kristen kemudian Hindu. Untuk umat Islam dan Kristen sudah jelas menyatakan sikapnya mengenai zinah berdasarkan kitab suci masing-masing (Al-Quran dan Alkitab).
Manusia sejak awal dilahirkan pastilah tak luput dari dosa, dan sering kali yang membedakan manusia satu dengan lainnya adalah ‘caranya’ berbuat dosa. Ada yang rajin beribadah tetapi tidak/jarang membantu sesama, sering mengikuti kegiatan gereja (kajian, renungan, misa) namun sikapnya tidak mencerminkan apa yang ia pelajari, ada yang mengingatkan dosa orang lain dengan cara yang salah (mengumbar aib dan sebagainya).
Dosa akan selalu ada, tinggal kita saja yang mau mengambil seberapa banyak porsinya. Itulah kehendak bebas milik manusia, itulah ujian bagi kita untuk menaikan derajat kita di mata Tuhan.
Kembali lagi ke topik zina, menurut KUHP negara kita, sebuah perbuatan dapat dikatakan zina jika salah satu atau keduanya sudah mempunyai pasangan sah atau terikat pernikahan.
Nampaknya, ancaman dosa perzinaan telah gagal dalam pengendalian naluri atau hawa nafsu manusia, khususnya zina. Faktanya, ancaman terhadap dosa zinah tidak pernah terbukti secara empiris. Sampai saat ini, resiko para pelaku zina sebatas sanki sosial berdasarkan norma adat istiadat masyarakat setempat, seperti human cambuk di Aceh atau pengusiran oelh masyarakat.
Karena resiko hukum yang diterapkan bisa ‘diakali’ oleh pelaku maka perbuatan zinah kemungkinan akan tetap ada sepanjang waktu selama cara yang dilakukan dirasa masih aman.
Dalam Agama Islam, konsep surga digambarkan sebagai tempat suci yang dapat dimasuki oleh orang-orang tertentu (bersyarat). Manusia akan mendapatkan banyak sekali kenikmatan, salah satunya adalah semua hasrat seksual sebebas-bebasnya secara kekal. Hanya saja syarat untuk masuk ke surga demikian sulit sehingga mendorong manusia untuk berfikir bahwa:
“Jika kenikmatan seksual bisa didapat sekarang juga, kenapa harus menunggu masuk surga. Toh belum tentu nanti masuk surga.”
Sedangkan dalam Kekristenan, di surga tidak ada hawa nafsu, sehingga tidak ada pernikahan ataupun hubungan seks. Penghuni sorga digambarkan memiliki tubuh suci yang terbebas dari belenggu iblis sehingga tidak akan berbuat segala jenis dosa dalam Alkitab.
Tetapi seperti ada tertulis: āApa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.ā
1 Korintus 2:9
Khusus untuk kalangan Ateis (tidak percaya Tuhan), konsep surga dan neraka hanya omong kosong belaka. Pemahaman surga dan neraka diciptakan oleh manusia untuk menekan sifat-sifat buruk manusia lainnya agar mereka tak menyalahi moral. Surga sebatas “iming-iming” supaya manusia berlomba dalam kebaikan dan mengejar posisi mulia setelah kematian.
Ateis tidak terikat dalam norma-norma agama, kebanyakan dari mereka berpatokan pada moralitas sebagai manusia dan hukum sebab akibat.
Contoh: jika mencuri dianggap buruk, mereka tidak akan melakukannya. Jika memperkosa adalah tindakan biadab, mereka tidak akan melakukannya. Jika ibadah tidak punya dampak signifikan dalam kehidupan, mereka juga tidak akan melakukannya.
Jadi pertanyaan soal mengapa masyarakat kita yang beragama justru banyak melakukan zina adalah tidakĀ adanya bukti empiris mengenai sebab akibat perbuatan zinah.
Bukti empiris adalah informasi yang membenarkan suatu kepercayaan dalam kebenaran atau kebohongan suatu klaim empiris.
Banyaknya pemuka agama yang justru secara tidak langsung memamerkan kehidupan seksualnya. Ada yang berpoligami, kawin cerai, dan sebagainya, hal ini menggiring persepsi masyarakat bahwa fenomena perzinaan ini adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi. Yang penting, cara melakukannya rapih dan ālegalā.
Di Indonesia, perbuatan zina dan tidak terlalu abu-abu, karena hubungan seks yang dikategorikan zina dan halal hanya dibedakan oleh faktor administrasi saja, sementara secara naluriah motifnya sama saja.