Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah engkau menyembah-Nya? Pertanyaan tersebut seakan menguji keimanan kita terhadap Tuhan, apa kita menyembahNya karena takut akan neraka atau malah hanya sekadar mengejar surga? Jika keduanya tidak ada, apakah kita masih tulus mengasihiNya?
Pertanyaan di atas mungkin sempat terlintas di benak kita dan membuat kita berfikir tentang makna dari iman maupun kepercayaan, karena hal itu punya makna yang mendalam dan cukup filosofis, bahkan dijadikan lagu oleh Ahmad Dhani dan Chrisye. Berikut lirik lagu Jika Surga Dan Neraka Tak Pernah Ada:
Apakah kita semua
Benar-benar tulus
Menyembah padaNya
Atau mungkin kita hanya
Takut pada neraka
Dan inginkan surgaJika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkan kau bersujud kepadaNya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut namaNyaBisakah kita semua
Benar-benar sujud sepenuh hati
Karna sungguh memang Dia
Memang pantas disembah
Memang pantas dipujaJika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkan kau bersujud kepadaNya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut namaNyaApakah kita semua
Benar-benar tulus
Menyembah padaNya
Ataukah mungkin kita hanya
Takut pada neraka
Dan hanya inginkan surgaBisakah kita semua
Benar-benar sujud sepenuh hati
Karena sungguh memang dia
Memang pantas disembah
Memang pantas di puja
Karena sungguh memang dia
Memang pantas di sembah memang pantas di puja
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkan kau bersujud kepadaNya
Jika surga dan neraka tak pernah ada
Masihkah kau menyebut namaNya
Menilik sejarah, konsep ketuhanan maupun ritual keagamaan (pemujaan) kepada Tuhan sudah ada jauh sebelum konsep surga dan neraka itu ada, apalagi jika yang dimaksud surga dan neraka adalah tempat/tujuan setelah kematian.
Artinya, tidak semua ritual penyembahan kepada tuhan berkaitan dengan rasa/keinginan untuk masuk surga maupun takut oleh neraka. Apapun sebutan dan deskripsi tentang Tuhan, Ia adalah entitas serba maha yang tidak bisa dipahami manusia.
Ibadah, pemujaan, ritual, dan kegiatan keagamaan didasari oleh bentuk pengakuan manusia atas adanya kekuatan tak terbatas yang melampaui akal manusia dalam mendekteksi maupun mengeksplorasinya.
Jadi, penyembahan kepada Tuhan adalah bentuk kontenplasi diri bahwa hidup manusia adalah fana. Pengakuan atas keterbatasan manusia itulah yang apabila dihayati dan dipahami setiap manusia maka ia akan membuat dirinya tidak serakah, tidak arogan, rendah diri dan mawas diri.
Akan tetapi saat ini banyak agama yang menekankan ‘fungsi pamrih’ ibadah/penyembahan ketimbang fungsi psiko-spiritualnya. Nyatanya, penyembahan seperti itu adalah ibadah yang sarat pamrih, tidak ikhlas.
Akibatnya, alih-alih kesadaran akan keterbatasan diri yang terbentuk, banyak penganut agama yang rajin beribadah tetapi sulit lepas dari penderitaan karena di hatinya tetap terpatri egoisme, arogansi, keserakahan, kecemburuan, kebencian, bahkan permusuhan.
Kesimpulannya, pujalah Tuhan bukan karena berharap surga atau takut neraka, melainkan pujalah Dia karena kesadaran atas keterbatasan diri. Lama hidup ini singkat, kekuatan fisik-inderawi terbatas, peruntungan hidup pun serba tidak pasti.