Mayoritas penduduk di Indonesia adalah umat beragama, namun hal ini malah menimbulkan aliran radikal (radikalisme) di tengah masyarakat yang harusnya mencintai perdamaian dan toleransi sebagaimana tertampung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Menurut Wikipedia, radikalisme adalah istilah yang digunakan pada abad 18 untuk mendukung gerakan radikal yang dimulai di Britania Raya dengan tujuan meminta reformasi sistem pemilihan.
Dalam pengertiannya, RadikalismeĀ adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Paham ini juga mengacu pada sikap ekstrem dalam aliran politik.
Radikalisme ini tidak hanya tumbuh di Indonesia, aliran ini bisa ada di manapun. Di Perancis misalnya, padahal negara itu sangat sekuler tapi malah kerap terjadi peristiwa terorisme yang menarik perhatian dunia. Untungnya, di negara kita tindakan radikalisme masih cukup terkendali dibandingkan dengan Perancis, hal ini tak lepas dari peran Densus 88.
Mungkin situasi di Indonesia berbeda dengan Perancis. Tapi untuk Indonesia, aliran radikal tumbuh subur, karena ada yang membela termasuk individual dan organisasi yang didanai/digaji oleh negara.
Mengapa Radikalisme Bisa Tumbuh di Indonesia?
Ada beberapa poin yang cukup relevan untuk dijadikan alasan, seperti:
- Faktor finansial yang tidak layak (kemiskinan)
- Faktor pemerintah yang tidak becus menjalankan tugasnya
Kedua hal tersebut punya keterikatan untuk dijadikan alasan, bayangkan saja jika kamu berada di posisi kurang beruntung dalam permasalahan ekonomi (miskin), hidup serba pas-pasan, kemudian melihat pemerintah yang ‘melucu’ dalam membuat, menetapkan, menegakkan aturan dan kebijakan. Pasti kamu akan merasa jengkel, marah, atau kecewa berat dengan peran negara.
Dari emosi negatif itu seseorang bisa saja mencari jalan keluar alternatif untuk bisa lepas dari semua itu. Psikologi manusia yang telah merasakan kekecewaan dan hal negatif lainnya akan lebih mudah untuk dimasuki sebuah paham/ilmu baru. Sayangnya, ada beberapa yang salah jalur dan malah terjerumus pada radikalisme yang di dalamnya disusupi pemikiran ekstrim.
Di Indonesia, lebih banyak kasus radikalisme yang berhubungan dengan agama, tak heran kalau gereja sering jadi korbannya. Pelaku radikalisme tersebut mungkin berfikir bahwa orang yang memliki paham agama berbeda (kafir) tak pantas untuk tidur di bawah langit yang sama. Mereka salah memahami konsep agama mereka sendiri, terlena dengan penggalan ayat yang mengatakan bahwa mati dalam jihad (perjuangan melawan kafir) akan mendapatkan kenikmatan surgawi di akhirat.
Banyak dari mereka (pelaku radikalisme) merasa bahwa apa yang mereka percayai jauh lebih baik dari kepercayaan orang lain. Ditambah lagi rasa marah dan kecewa dengan pemerintah yang tidak becus mengelola negara hingga membuat mereka sengsara dalam hidup. Tak heran, pelaku radikal ini membawa argumen defensif yang misalnya membawa kasus koropsi atau kekurangan organisasi pemerintahan sebagai bentuk rasa kecewa mereka.
Caranya efektif melawan radikalisme tentu selain serius melakukan program deradikalisasi maka dari pemerintahnya sendiri harus mulai berbenah, korupsi diberantas sampai pada akarnya dan sejahterakan mereka yang mungkin selama ini terkucilkan (yang ironisnya memang lari ke arah yang salah).
Di dalam pluralisme negara, di dalamnya terdapat kesenjangan ekonomi, sosial, politik yang cukup tajam. Kesenjangan ini memicu kecemburuan antar kelompok masyarakat. Hal kecil seperti cemburu, kecewa, marah inilah yang menjadi bibit yang menumbuhkan kelompok radikal, garis keras, intoleran.
Sayangnya, meskipun akar masalahnya sudah jadi pengetahuan umum, para elit dan pimpinan pemerintahan negara kita sejak republik ini berdiri hingga sekarang ini terkesan tidak pernah serius mengatasi akar masalahnya itu.
Pembangunan belum benar-benar merata ke seluruh wilayah. Semua industri manufaktur dan infrastruktur terbaik negeri ini terpusat di Jawa. Kemudahan akses permodalan juga timpang hanya dimiliki oleh kalangan tertentu saja.
Satu hal lagi yang menyebabkan aliran radikal, garis keras dan intoleran tumbuh subur di negeri ini adalah lemahnya penegakan hukum. Penegakan hukum terkesan tajam ke bawah tapi tumpul keatas.
Jadi, selama kesenjangan sosial, ekonomi, politik tetap lebar; penegakan hukum lemah; dan adanya kalangan elit yang justru memanfaatkan kelompok-kelompok ekstrem tadi untuk kepentingannya, maka selama itu aliran fundamentalis, garis keras, dan intoleran akan tetap ada.
Apakah Aliran Radikal Hanya Datang dari Satu Agama?
Tidak, kebetulan saja negara kita mayoritas adalah muslim, di negara eropa yang mayoritas kristen juga sama saja, karena memang banyak faktor dalam lahirnya paham radikal bukan hanya agama saja. Jika dilihat dari sudut pandang agama, tidak ada yang salah dalam ajaran agama, yang salah adalah manusianya.
Semoga kita mampu memahami konsep dan tahapan lahirnya pemikiran radikal sehinggaĀ bisa ‘sadar’ akan jalan kehidupan yang baik dan benar. Setidaknya, jika hidup terasa tidak berguna, paling tidak jangan merepotkan orang lain.